Wednesday, May 8, 2013

PENEMUAN POPULASI DAN HABITAT PESUT (Orcaella brevirostris) DI PERAIRAN KUBU RAYA, KALIMANTAN BARAT



oleh : Niken Wuri Handayani, S.Si., M.Si.



Berita menghebohkan muncul dan menjadi pembicaraan para ilmuwan di Indonesia Bayangkan saja, pesut yang selama ini menjadi maskot provinsi Kalimantan Timur dan  dikatakan di Indonesia hanya ada di Sungai Mahakam, ternyata ditemukan juga di Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat.


Penemuan Pesut di Kubu Raya

Keberadaan pesut di Kabupaten Kubu Raya, sebelumnya belum pernah diketahui.  Meskipun masyarakat setempat sering kali menjumpai spesies ini, tapi mereka tidak tahu kalau spesies tersebut merupakan pesut.  “Lumba-lumba idong pesek”, demikian mereka menyebutnya.  Menurut Musjuding (42) salah seorang warga Dusun Terumbuk, Desa Nipah Panjang, Kecamatan Batu Ampar, Kubu Raya, (dikutip dari kalbar-online.com), masyarakat sering menemukan mamalia tersebut muncul dalam jumlah lebih dari satu ketika saat air dalam keadaan konda atau waktu di antara pasang dan surut. Selain itu, kondisi air juga dalam keadaan tenang dengan permukaan cukup tinggi. 

Masyarakat sering menemukan mamalia ini di sekitar perairan bakau Padang Tikar, Teluk Nuri, kanal-kanal bakau Selat Sih, perairan pesisir pantai, hingga perairan payau, selat-selat sempit hutan bakau dan nipah di perairan Batu Ampar.  Spesies ini sering datang ke kawasan tersebut  untuk bermain, beristirahat, atau mencari makan.

Tim survei WWF Indonesia bekerjasama dengan Badan Pengembangan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Pontianak berhasil mempelajari dan mendokumentasikan keberadaan populasi pesut atau lumba-lumba air payau Orcaella brevirostris di perairan Kubu Raya, Kalimantan Barat.  Dan hasil yang didapat sangat mengejutkan, dengan jarak survei keseluruhan 248 km, mencangkup 26 jam pengamatan selama 5 hari efektif, beberapa kelompok Irrawaddy dolphin yang muncul dipermukaan berhasil dideteksi di perairan payau hutan bakau dan nipah serta di selat-selat sempit Batu Ampar (WWF-Indonesia, 2011).


Deskripsi Pesut

Pesut atau lumba-lumba Irrawaddy (Irrawaddy dolphin), yang memiliki nama ilmiah Orcaella brevirostris Gray 1866, memiliki habitat di Muara bakau, delta, teluk, daerah pesisir dan daerah aliran sungai.  Seluruh tubuh dari pesut berwarna kelabu hingga biru tua, dan bagian bawahnya berwarna lebih pucat.  Tubuh pesut tidak memiliki pola yang khas.

Sirip punggungnya kecil dan membulat di tengah punggung.  Pesut tidak bermoncong, dahinya tinggi dan membulat.


Status Perlindungan

Pesut (Orcaella brevirostris) merupakan satwa yang dilindungi Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Ada dua species pesut di dunia yaitu Orcaella brevirostris dan Orcaella heinsohni (Snubfin dolphin), untuk perairan-perairan di Indonesia umumnya dihuni oleh Populasi Orcaella brevirostris.  Diperkirakan populasi tertinggi pesut terdapat di perairan hutan bakau Sundabarn, Bangladesh dan India dengan populasi sekitar 6000 ekor. Adapun populasi lainnya terdapat di Sungai Mekong Kambodia yaitu sekitar +/- 70 ekor, kemudian di Sungai Ayeyawardi di Myanmar dan Sungai Mahakam Kalimantan Timur. Ketiga lokasi ini dikategorikan dalam daftar merah IUCN memiliki populasi paling kritis (Critically Endangered), sedangkan lainnya dikategorikan sebagai rentan (Vulnerable).

Pada tahun 2004, Konvensi Perdagangan Internasional untuk Spesies Langka Flora dan Fauna Liar (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora / CITES) mengubah status perlindungan lumba-lumba Irrawaddy dari Appendix II menjadiappendix I yang melarang semua perdagangan komersial pada spesies yang terancam punah.

Lumba-lumba Irrawaddy terdaftar juga di Appendix I dan Appendix II  Konvensi tentang Konservasi Spesies Hewan Hidup yang Bermigrasi (Conservation of Migratory Species of Wild Animals /CMS). Seperti yang tercantum pada Appendix I, spesies ini telah dikategorikan terancam punah. Spesies ini juga dilindungi dalam Nota Kesepahaman untuk Konservasi Cetacea dan Habitatnya di wilayah Kepulauan Pasifik (Pasific Cetaceans MoU).


Pentingnya Konservasi Pesut

Pesut sangat menyukai ikan, udang-udangan, dan cumi-cumi, sehingga hal tersebut dapat menyebabkan konflik dengan manusia dalam mendapatkan makan untuk bertahan hidup.

 Kondisi saat ini belum terdapat konflik antara manusia dan pesut di wilayah  Muara Padang Tikar, Selat Sih, dan Teluk Nuri.  Nelayan di daerah tersebut tidak memburu pesut. Hanya saja karena mayoritas penduduk setempat bermata pencaharian sebagai nelayan, dan menggantungkan hidupnya dari sumber daya laut, seperti ikan, udang-udangan, cumi-cumi, serta hasil dari hutan bakau, maka sangat berpotensi terjadi konflik dengan pesut dalam mendapatkan sumber daya laut tersebut. Selain itu, keberadaaan pesut sangat tergantung pada kondisi perairan yang sehat.  

Ekosistem perairan sangat rentan terhadap perubahan lingkungan.  Saat ini, ancaman terhadap kondisi ekosistem perairan cukup tinggi. Limbah racun toksis, kotoran sampah dan sedimentasi akibat praktek-praktek pembangunan yang berbasis lahan tidak lestari/ tidak berkelanjutan, termasuk penebangan dan perambahan hutan di hulu sungai untuk industri perkayuan dan pertanian (perkebunan kelapa sawit komersial) merupakan beberapa ancaman dari ekosistem perairan.  Nelayan di wilayah Muara Padang Tikar, Selat Sih dan teluk Nuri banyak menggunakan jaring, per- angkap ikan, pukat ikan ser- ta jermal udang dan ikan  untuk menangkap ikan laut dan krustasea atau udang-udangan. Selat-selat sempit atau kanal-kanal perairan di Kubu Raya juga berfungsi sebagai jalur transportasi sungai yang menghubungkan pemukiman-pemukiman, seperti dari Pontianak ke Sukadana dan Ketapang dan sebaliknya.  Transportasi sungai meliputi perahu bermotor dan kapal cepat (speedboat), kapal penumpang, kapal penarik (tugboat) dan kapal kargo melewati kanal-kanal air yang menghubungkan pulau-pulau kecil dan desa-desa.  Selain itu, pengembangan pelabuhan untuk industri kayu bakau di dekat desa Batu Ampar dan kanal bakau Selat Sih mengakibatkan pembuangan limbah ke dalam perairan tersebut.  Secara tradisional, penduduk lokal menebang pohon bakau untuk produksi kayu arang dalam skala kecil.  Produk kayu arang ini dijual ke Pontianak dan bahkan diekspor ke Jawa dan Malaysia (WWF-Indonesia, 2011). 

Perairan Padang Tikar, Teluk Nuri, delta, dan perairan sekitar hutan bakau dan nypah di Batu Ampar tidak memiliki status kawasan lindung, dengan pengecualian status perlindungan untuk hutan bakau di Batu Ampar sebagai cagar Biosfer yang dapat dikelola dalam mekanisme Unit Pengelolaan Hutan (UPH) (Prasetiamartati dkk., 2008).  Sehingga sangat penting dilakukan upaya konservasi untuk melindungi pesut tersebut.
 
Sebagai spesies yang hidup di dua jenis perairan, tawar dan asin, pesut dapat menjadi spesies indikator yang mengindikasikan sehat atau tidaknya ekosistem perairan tersebut. Dengan menyelamatkan pesut-pesut yang berada di Kabupaten Kubu Raya, kita dapat menyelamatkan ekosistem perairan dan ekosistem mangrove di Kabupaten Kubu Raya.  Yuukk… kita bersama-sama menyelamatkan pesut-pesut disana!!



Tinjauan Pustaka :
 "Appendix I and Appendix II" of the Convention on the Conservation of Migratory Species of Wild Animals (CMS). As amended by the Conference of the Parties in 1985, 1988, 1991, 1994, 1997. 

CITES (2004-10-14). "CITES takes action to promote sustainable wildlife". Press Release (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). Retrieved 2008-12-29. 1999, 2002, 2005 and 2008. Effective: 5th March 2009.

http://www.profauna.org/suarasatwa/id/2008/01/mengenal_jenis_lumnba-lumba_indonesia.html.

The IUCN Red List of Threatened Species. 2011.2

Kalbar Online, 2011. WWF temukan pesut di perairan Kubu Raya.  http://kalbar online.com/news/metropolitan/wwf-temukan-pesut-di-perairan-kubu-raya. 

Kreb, D. 2002. Density and abundance of Irrawaddy dolphin, Orcaella brevirostris, in the Mahakam river of East Kalimantan, Indonesia: a comparison of survey techniques. The Raffles Bulletin of Zoology Supplement 10: 85-95 

Kreb, D. 2004. Abundance of freshwater Irrawaddy dolphins in the Mahakam River in East Kalimantan, Indonesia, based on mark-recapture analysis of photo-identified individuals. J .CETACEAN RES. MANAGE 6(3): 269 – 277. 

Prasetiamartati, B., Tai, H.S., Santoso, N., Mustikasari, R. and Syah, C. 2008. Mangrove forest and charcoal production: case of Batu Ampar, West Kalimantan. Paper Submitted for IASC 2008 Global Conference.

ENAU (Arenga pinnata Merr) SANG HARAPAN

oleh : Lidia Lilly, S.Hut, M.P


Apa itu enau?
Enau (Arenga pinnata Merr) merupakan tumbuhan berbiji tertutup dimana biji buahnya terbungkus daging buah. Tanaman ini hampir mirip dengan pohon kelapa. Perbedaannya, jika pohon kelapa batang pohonnya bersih, maka batang pohon aren sangat kotor karena batangnya terbalut ijuk yang warnanya hitam dan sangat kuat sehingga pelepah daun yang sudah tuapun sulit diambil dari batangnya.
Enau (pranala gambar)

Enau dikenal juga dengan nama lokal seperti nau, hanau, peluluk, biluluk, kabung, juk atau ijuk (aneka nama lokal di Kalimantan, Sumatra dan Semenanjung Malaya); kawung, taren ,akol, akel, akere, inru, indu (bahasa-bahasa di Sulawesi); moka, moke, tuwa, tuwak (di Kalimantan Barat ,Nusa Tenggara ), dan lain-lain (http://www.gallery-kapuashulu.org/id/ntf/aren).

Di luar negeri, enau dikenal dengan nama arenpalm atau zuikerpalm (Belanda), zuckerpalme (Jerman) dan sugar palm atau gomuti palm (Inggris).

Penyebaran enau di dunia adalah berasal dari wilayah Asia tropis, kemudian menyebar alami mulai dari India timur di sebelah barat, hingga ke Indonesia, Malaysia, dan Filipina di sebelah timur.



Manfaat enau Enau dikenal sebagai tumbuhan multi manfaat karena dapat diambil manfaatnya mulai dari akar, batang sampai daun muda/janur (http://eritristiyanto.wordpress.com/2010/03/27/pohon-aren-dan-manfaatnya/).

Berikut adalah manfaat bagian-bagian pohon enau: 
Batang
Kayu untuk berbagai macam peralatan dan bangunan. Batang dapat diambil pati/tepungnya yang dimanfaatkan untuk berbagai macam makanan. 
Ijuk
Ijuk dari pohon enau dapat dipintal menjadi tali. Meski agak kaku, tali ijuk ini cukup kuat, awet dan tahan digunakan di air laut. Ijuk dapat pula digunakan sebagai bahan atap rumah, pembuat sikat dan sapu ijuk.
Daun
Daun muda digunakan untuk pembungkus rokok, daun tua untuk atap, dan lidinya untuk sapu. 
Bunga
Tandan bunga enau jantan yang mulai mekar dan menghamburkan serbuk sari yang berwarna kuning disadap menghasilkan nira yang biasa juga disebut legen atau saguer. Nira ini bisa dibuat menjadi gula aren, atau jika difermentasi menjadi minuman yang biasa disebut tuak atau saguer. 
Buah
Buah enau atau biasa disebut beluluk, caruluk dan lain-lain memiliki 2 atau 3 butir inti biji yang berwarna putih tersalut batok tipis yang keras. Inti biji yang muda diolah dulu, kemudian bisa dijadikan campuran es, kolak, atau dijadikan manisan. Inti biji yang telah diolah, diperdagangkan dengan nama kolang-kaling atau buah atep/buah atap. 
Akar
Akar enau mengandung saponin, flavonoida dan polifenol. Obat tradisional sebagai peluruh air seni dan peluruh haid. Menurut penelitian Balittro Departemen Pertanian, akar enau dapat digunakan sebagai obat herbal batu ginjal. Bahan kerajinan anyaman (Dishut Jateng, 2009).

Mengapa enau? 
Terus terang, saya mulai tertarik untuk menulis tentang enau adalah ketika saya pulang dari salah satu kawasan konservasi (CA Raya Pasi) yang dikelola BKSDA Kalbar tercinta, dimana saat ini saya dkk melihat pengrajin sapu ijuk sekaligus pedagang ijuk di pinggir jalan. Tergelitik akan keingintahuan darimana mereka mendapatkan bahan baku dan berapa harga jual sapu ijuk maupun bahan bakunya, saya meminta kawan-kawan yang pada saat itu bersama saya yaitu Icuk dan Alan untuk sedikit melakukan interogasi atau wawancara singkatlah. Karena terus terang, jauh dari lubuk hati saya yang paling dalam mengatakan kalau bahan baku ijuk tersebut bersumber dari CA Raya Pasi, karena memang banyak terdapat di dalam kawasan dan jarak tempuh yang tidak terlalu jauh.


Langsung terpikirkan di benak saya kalau tanaman enau ini dapat dijadikan salah satu jenis tanaman budidaya yang bernilai ekonomis bagi masyarakat sekitar kawasan.

Beberapa alasan mengapa saya memilih enau:
  1. Tanaman enau adalah tanaman multi manfaat, hampir tidak ada bagian dari tanaman ini yang dibuang baik dari akar sampai daun (sudah ditulis pada paragraf sebelumnya)
  2. Hasil penelitian Endri Martini dkk dari ICRAF di Batang Toru, Sumatera Utara (2009) dapat dijadikan salah satu referensi betapa tanaman aren jika dikelola dengan baik akan meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar kawasan.





Beberapa poin penting dari penelitian tersebut adalah:
  • Satu pohon enau bisa memproduksi 10-30 liter nira/hari (tergantung iklim dan kondisi pohon). Dari 30-100 liter nira, dapat dihasilkan gula aren sebanyak 10-30 kg dan dijual Rp 9.000,-/kg (harga pada saat itu). Sekarang harga jual gula aren sekitar Rp 12.500,-/kg (Agromart, 7 Pebruari 2012). Selain dijadikan gula aren, air nira juga dijadikan tuak dan dijual di lapo-lapo ( warung) di desa. Jika dalam seminggu pemilik kedai memproduksi dan menjual tuak sebanyak 15 liter, maka dalam sebulan bisa mendapatkan penghasilan sekitar Rp 100.000,- dari satu pohon enau. 
  • Selain menghasilkan gula aren dan tuak, tanaman enau juga menghasilkan ijuk tetapi hanya bisa dipanen 2-3 kali/tahun dan sekali panen dapat menghasilkan 5 kg ijuk/pohon dengan harga jual saat itu Rp 2.000,-/kg.
  • Hasil lainnya dari tanaman enau adalah buahnya yang lebih dikenal dengan nama kolang- kaling yang dipanen setiap 2 tahun sekali. Sekitar 100 kg/pohon sekali panen dan dijual dengan harga Rp 3.000,-/kg. 

Salah satu kesimpulan yang dapat saya buat dari penelitian tersebut adalah menanam enau dan memanfaatkan bagian-bagian tanamannya dengan cara-cara yang sederhana sekalipun, ternyata cukup menjanjikan. 

  • Jenis ini bisa tumbuh baik di berbagai ketinggian tempat dan juga tumbuh subur di tengah pepohonan dan semak-semak. Selain itu, tanaman yang banyak ditemukan di  Indonesia ini tidak membutuhkan pemupukan dan tidak terserang hama ataupun penyakit yang mengharuskan penggunaan pestisida sehingga aman bagi lingkungan (Dishut Jateng, 2009). 
  •  Tanaman ini tidak membutuhkan kondisi tanah yang khusus dan tidak memerlukan pemeliharaan yang intensif, dapat tumbuh pada tanah liat, berlumpur dan berpasir, pada ketinggian antara 9 – 2000 m dpl dengan curah hujan lebih dari 1.200 mm setahun. Dalam satu hektar tanah bisa ditanami 75 - 100 pohon (http://ditjenbun.deptan.go.id, 2009).
  • Perbanyakkan dapat dilakukan secara generatif dengan biji
  • Masyarakat sekitar kawasan hutan rata-rata mata pencaharian mereka adalah petani dan pasti sudah tahu dan mengenal tanaman enau ini sehingga tidak terlalu sulit untuk membuka wawasan mereka tentang harapan jika menanam enau di lahan yang mereka miliki

Tuesday, May 7, 2013

KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN, “SEJARAH YANG BERULANG”


oleh : Irwan Lovadi
(editing: Redaksi Buletin Entuyut) 

Masih ingat dengan kejadian sepuluh tahun yang lalu tepatnya tahun 1998 ketika kebakaran hutan melanda sebagian wilayah Indonesia khususnya Sumatera dan Kalimantan?

Pemadaman kebakaran hutan dan lahan
“Sudah 284.758 Ha Hutan Terbakar di Kaltim” (Kompas, 17 April 1998)

“Di awal musim kemarau, peningkatan jumlah kejadian kebakaran hutan mulai terdeteksi di Riau dan Kalimantan; peningkatan kabut asap dapat mengganggu transportasi udara di wilayah sekitar dan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura” (The Jakarta Post, 28 Mei 2003)

“Titik api (hot spot) akibat terbakarnya hutan dan lahan baik yang disengaja maupun tidak kembali bermunculan di sejumlah kabupaten/kota di Provinsi Riau” (Kompas, 12 Februari 2008)

Masih ingat dengan kejadian sepuluh tahun yang lalu tepatnya tahun 1998 ketika kebakaran hutan melanda sebagian wilayah Indonesia khususnya Sumatera dan Kalimantan? Kabut asap menutupi kota-kota di Sumatera dan Kalimantan, dan bahkan sempat mengganggu jadwal penerbangan pesawat dari negara tetangga contohnya Malaysia dan Singapura. Anggota masyarakat yang daerahnya mengalami kebakaran hutan dan lahan silih berganti mengunjungi rumah sakit karena alasan gangguan saluran pernafasan atas. Kebakaran juga menyisakan hutan menjadi lahan terbuka dan menambah laju pengurangan tutupan hutan yang ada. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) memperkirakan bahwa paling tidak 383.000 hektar hutan dataran rendah di Sumatera dilanda kebakaran sepanjang tahun 1997 dan 1998. Kebakaran hutan di Kalimantan bahkan lebih parah lagi. Lebih dari dua juta hektar hutan habis dilalap si jago merah. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan juga sangat besar. Harian The Jakarta Post pada bulan April 1998, misalnya, memperoleh data kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan di Indonesia sebesar Rp 8,27 triliun.
Lima tahun kemudian, sejarah kabut asap yang menyelimuti sebagian wilayah Indonesia kembali terulang. Sebagian warga masyarakat kembali mendatangi rumah sakit dan klinik karena Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) yang mereka derita. Habitat satwa seperti orangutan, gajah dan burung enggang terus berkurang. Lebih lanjut, fenomena ini kembali mencoreng wajah bangsa ini. Beberapa kota di negara tetangga kembali diselimuti kabut asap kiriman dari di Indonesia.
Awal tahun 2008, kebakaran hutan dan lahan kembali terjadi. Kabut asap mulai bergerak meliputi beberapa kota di Indonesia seperti Pekanbaru, Jambi dan Pontianak. Dampaknya pada manusia mulai terlihat. Dari data Unit Pengobatan Penyakit Paru-paru (UP4) Kalimantan Barat di Pontianak yang dilansir oleh situs Kompas pada tanggal 22 Januari 2008 terungkapkan bahwa telah terjadi peningkatan jumlah penderita ISPA di Kota Pontianak. Pada minggu kedua di bulan Januari, jumlah penderita tercatat sebanyak 153 orang. Namun, pada pekan berikutnya jumlahnya meningkat menjadi 211 orang. Kerugian yang diderita oleh sebagian masyarakat Indonesia tidak hanya sampai disitu. Tutupan hutan hujan tropis yang menjadi kebanggan bangsa akan semakin berkurang. Berbagai jenis tumbuhan dan satwa juga terancam kehilangan “tempat tinggal” alaminya.

Faktor Penyebab
Kebakaran hutan dan lahan dalam satu dekade terakhir disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor itu antara lain:
 1. Gejala El-Nino yang hebat
fenomena ini memicu terjadinya kemarau panjang yang dapat meningkatkan resiko terjadinya kebakaran hutan. Gejala El-nino merupakan salah satu penyebab parahnya kebakaran hutan yang terjadi pada periode 1997 dan 1998. Gejala El-nino sendiri merupakan kondisi iklim yang tidak normal yang dicirikan dengan naiknya temperatur permukaan air laut di Samudra Pasifik. Kondisi iklim yang abnormal ini dapat memicu peningkatan curah hujan yang dapat menyebabkan banjir hebat atau kemarau yang berkepanjangan.
2. Sikap tidak mengindahkan peringatan pemerintah
Forest Watch Indonesia melalui buku Potret Keadaan Hutan Indonesia yang dipublikasikan pada tahun 2003 menyebutkan bahwa pemerintah Indonesia melalui Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup telah memperingatkan akan dampak dari kemarau panjang yang dapat memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Namun demikian, peringatan tersebut tidak diindahkan. Aktivitas pembakaran hutan dan lahan terus berlanjut, khususnya di Sumatera dan Kalimantan. Pembakaran hutan dan lahan merupakan salah satu opsi yang paling sering diambil untuk membuka lahan karena hemat biaya. Sebagian perusahaan perkebunan dan Hutan Tanaman Industri diduga juga pernah menggunakan cara ini sebagaimana yang dilansir oleh harian the Jakarta Post pada tanggal 9 Juni 2004
3. Lemahnya penegakan hukum bagi para aktor pembakaran hutan
Walaupun perangkat hukum yang mengatur tentang pelarangan dan penegakan hukum dibidang kebakaran hutan sudah tersedia, penerapannya di lapangan masih jauh dari harapan. Para pelaku pembakaran hutan masih bisa lolos dari jeratan hukum. Hal ini pada akhirnya menyebabkan para pelaku tidak takut untuk membuka hutan atau lahan dengan cara membakar. Padahal, Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 50 ayat 3 butir d dengan tegas menyatakan bahwa “setiap orang dilarang membakar hutan” dengan sanksi yang sudah diatur dalam pasal 78 ayat 3 dan 4.

Berbagai Upaya
Berbagai upaya untuk mencegah dan mengendalikan kebakaran hutan dan lahan sebenarnya telah dilakukan oleh pemerintah pusat melalui Unit Pelaksana Teknis  (UPT) Departemen Kehutanan, seperti Balai Konservasi Sumber Daya Alam, dan juga pemerintah daerah melalui beberapa instansi terkait, misalnya Dinas Kehutanan atau Perkebunan Propinsi dan Kabupaten/Kota. Beberapa upaya yang telah dilakukan misalnya pembentukan Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, pemberian pelatihan bagi anggota brigade, penyuluhan kepada anggota masyarakat, pemetaan lokasi rawan kebakaran, patroli kebakaran hutan dan lahan dan operasi pemadaman.
Namun, upaya yang telah dilakukan di atas ternyata belum memberikan hasil yang maksimal khususnya untuk kebakaran lahan yang sering terulang kembali setiap tahunnya. Berdasarkan data dari Sekretariat Brigade Kebakaran Hutan dan Lahan Manggala Agni Kalimantan Barat terungkap bahwa kebakaran pada tahun 2007 paling sering terjadi di lahan. Kebiasaan sebagian anggota masyarakat yang menggunakan api untuk membuka dan mengolah lahan dianggap yang paling bertanggungjawab dalam menyebabkan kebakaran lahan tersebut.
Kebakaran lahan sebenarnya dapat dicegah jika : (1) semua komponen masyarakat termasuk pemilik lahan perkebunan bersedia untuk tidak menerapkan praktek-praktek pembukaan dan pengolahan lahan dengan menggunakan api, (2) pemerintah mendorong tercetusnya berbagai macam alternatif pola pembukaan dan pengolahan lahan yang murah dan berhasilguna (3) kegiatan pemantauan lokasi rawan kebakaran berjalan dengan baik. Apabila ketiga prasyarat tersebut terpenuhi, kejadian kebakaran hutan dan lahan dapat dicegah dan dikendalikan dengan operasi pemadaman yang melibatkan pemerintah dan anggota masyarakat.