oleh : Irwan Lovadi
(editing: Redaksi Buletin Entuyut)
Masih ingat dengan kejadian
sepuluh tahun yang lalu tepatnya tahun 1998 ketika kebakaran hutan melanda
sebagian wilayah Indonesia khususnya Sumatera dan Kalimantan?
Pemadaman kebakaran hutan dan lahan |
“Sudah 284.758 Ha Hutan Terbakar di
Kaltim” (Kompas, 17 April 1998)
“Di awal musim kemarau, peningkatan
jumlah kejadian kebakaran hutan mulai terdeteksi di Riau dan Kalimantan;
peningkatan kabut asap dapat mengganggu transportasi udara di wilayah sekitar
dan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura” (The Jakarta Post, 28 Mei
2003)
“Titik api (hot spot) akibat
terbakarnya hutan dan lahan baik yang disengaja maupun tidak kembali
bermunculan di sejumlah kabupaten/kota di Provinsi Riau” (Kompas, 12 Februari 2008)
Masih ingat dengan kejadian sepuluh
tahun yang lalu tepatnya tahun 1998 ketika kebakaran hutan melanda sebagian
wilayah Indonesia khususnya Sumatera dan Kalimantan? Kabut asap menutupi
kota-kota di Sumatera dan Kalimantan, dan bahkan sempat mengganggu jadwal
penerbangan pesawat dari negara tetangga contohnya Malaysia dan Singapura.
Anggota masyarakat yang daerahnya mengalami kebakaran hutan dan lahan silih
berganti mengunjungi rumah sakit karena alasan gangguan saluran pernafasan
atas. Kebakaran juga menyisakan hutan menjadi lahan terbuka dan menambah laju
pengurangan tutupan hutan yang ada. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(BAPPENAS) memperkirakan bahwa paling tidak 383.000 hektar hutan dataran rendah
di Sumatera dilanda kebakaran sepanjang tahun 1997 dan 1998. Kebakaran hutan di
Kalimantan bahkan lebih parah lagi. Lebih dari dua juta hektar hutan habis
dilalap si jago merah. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan juga sangat besar.
Harian The Jakarta Post pada bulan April 1998, misalnya, memperoleh data
kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan di Indonesia sebesar Rp 8,27 triliun.
Lima tahun kemudian, sejarah kabut
asap yang menyelimuti sebagian wilayah Indonesia kembali terulang. Sebagian
warga masyarakat kembali mendatangi rumah sakit dan klinik karena Infeksi
Saluran Pernafasan Atas (ISPA) yang mereka derita. Habitat satwa seperti
orangutan, gajah dan burung enggang terus berkurang. Lebih lanjut, fenomena ini
kembali mencoreng wajah bangsa ini. Beberapa kota di negara tetangga kembali
diselimuti kabut asap kiriman dari di Indonesia.
Awal tahun 2008, kebakaran hutan dan
lahan kembali terjadi. Kabut asap mulai bergerak meliputi beberapa kota di
Indonesia seperti Pekanbaru, Jambi dan Pontianak. Dampaknya pada manusia mulai
terlihat. Dari data Unit Pengobatan Penyakit Paru-paru (UP4) Kalimantan Barat
di Pontianak yang dilansir oleh situs Kompas pada tanggal 22 Januari 2008
terungkapkan bahwa telah terjadi peningkatan jumlah penderita ISPA di Kota
Pontianak. Pada minggu kedua di bulan Januari, jumlah penderita tercatat
sebanyak 153 orang. Namun, pada pekan berikutnya jumlahnya meningkat menjadi
211 orang. Kerugian yang diderita oleh sebagian masyarakat Indonesia tidak
hanya sampai disitu. Tutupan hutan hujan tropis yang menjadi kebanggan bangsa
akan semakin berkurang. Berbagai jenis tumbuhan dan satwa juga terancam
kehilangan “tempat tinggal” alaminya.
Faktor Penyebab
Kebakaran hutan dan lahan dalam satu
dekade terakhir disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor itu antara lain:
1. Gejala El-Nino yang hebat
fenomena ini memicu terjadinya
kemarau panjang yang dapat meningkatkan resiko terjadinya kebakaran hutan.
Gejala El-nino merupakan salah satu penyebab parahnya kebakaran hutan yang
terjadi pada periode 1997 dan 1998. Gejala El-nino sendiri merupakan kondisi
iklim yang tidak normal yang dicirikan dengan naiknya temperatur permukaan air
laut di Samudra Pasifik. Kondisi iklim yang abnormal ini dapat memicu
peningkatan curah hujan yang dapat menyebabkan banjir hebat atau kemarau yang
berkepanjangan.
2. Sikap tidak mengindahkan peringatan pemerintah
Forest Watch Indonesia melalui buku
Potret Keadaan Hutan Indonesia yang dipublikasikan pada tahun 2003 menyebutkan
bahwa pemerintah Indonesia melalui Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup telah
memperingatkan akan dampak dari kemarau panjang yang dapat memicu terjadinya
kebakaran hutan dan lahan. Namun demikian, peringatan tersebut tidak
diindahkan. Aktivitas pembakaran hutan dan lahan terus berlanjut, khususnya di
Sumatera dan Kalimantan. Pembakaran hutan dan lahan merupakan salah satu opsi
yang paling sering diambil untuk membuka lahan karena hemat biaya. Sebagian
perusahaan perkebunan dan Hutan Tanaman Industri diduga juga pernah menggunakan
cara ini sebagaimana yang dilansir oleh harian the Jakarta Post pada tanggal 9
Juni 2004
3. Lemahnya penegakan hukum bagi para aktor pembakaran hutan
Walaupun perangkat hukum yang
mengatur tentang pelarangan dan penegakan hukum dibidang kebakaran hutan sudah
tersedia, penerapannya di lapangan masih jauh dari harapan. Para pelaku
pembakaran hutan masih bisa lolos dari jeratan hukum. Hal ini pada akhirnya
menyebabkan para pelaku tidak takut untuk membuka hutan atau lahan dengan cara
membakar. Padahal, Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 50 ayat
3 butir d dengan tegas menyatakan bahwa “setiap orang dilarang membakar hutan”
dengan sanksi yang sudah diatur dalam pasal 78 ayat 3 dan 4.
Berbagai Upaya
Berbagai upaya untuk mencegah dan
mengendalikan kebakaran hutan dan lahan sebenarnya telah dilakukan oleh
pemerintah pusat melalui Unit Pelaksana Teknis
(UPT) Departemen Kehutanan, seperti Balai Konservasi Sumber Daya Alam,
dan juga pemerintah daerah melalui beberapa instansi terkait, misalnya Dinas
Kehutanan atau Perkebunan Propinsi dan Kabupaten/Kota. Beberapa upaya yang
telah dilakukan misalnya pembentukan Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan dan
Lahan, pemberian pelatihan bagi anggota brigade, penyuluhan kepada anggota
masyarakat, pemetaan lokasi rawan kebakaran, patroli kebakaran hutan dan lahan
dan operasi pemadaman.
Namun, upaya yang telah dilakukan di
atas ternyata belum memberikan hasil yang maksimal khususnya untuk kebakaran
lahan yang sering terulang kembali setiap tahunnya. Berdasarkan data dari
Sekretariat Brigade Kebakaran Hutan dan Lahan Manggala Agni Kalimantan Barat
terungkap bahwa kebakaran pada tahun 2007 paling sering terjadi di lahan.
Kebiasaan sebagian anggota masyarakat yang menggunakan api untuk membuka dan
mengolah lahan dianggap yang paling bertanggungjawab dalam menyebabkan
kebakaran lahan tersebut.
Kebakaran
lahan sebenarnya dapat dicegah jika : (1) semua komponen masyarakat termasuk
pemilik lahan perkebunan bersedia untuk tidak menerapkan praktek-praktek
pembukaan dan pengolahan lahan dengan menggunakan api, (2) pemerintah mendorong
tercetusnya berbagai macam alternatif pola pembukaan dan pengolahan lahan yang
murah dan berhasilguna (3) kegiatan pemantauan lokasi rawan kebakaran berjalan
dengan baik. Apabila ketiga prasyarat tersebut terpenuhi, kejadian kebakaran
hutan dan lahan dapat dicegah dan dikendalikan dengan operasi pemadaman yang
melibatkan pemerintah dan anggota masyarakat.
No comments:
Post a Comment